SNOW


TUD'S EDUCATION

Minggu, 20 November 2011

JAVA of Psychology

Psikologi Jawa

Usaha untuk memahami manusia, terus menurus dilakukan. Maka dari itulah muncul mahdzab-mahdzab Psikologi. Teori-teori Psikologi kontemporer untuk menjelaskan fenomena tersebut juga masih memiliki kekurangan, karena Sosio-cultural masyarakat memiliki ke-khas-an tersendiri di setiap bangsa. Psikologi jawa adalah kawruh jiwa yang mengungkapkan bagaimana orang jawa menjelaskan kehidupan jiwa. Psikologi jawa sebagai Psikologi indigenous; kiranya dapat menjelaskan.

Di tengah maraknya minat mengkaji dunia Timur, dan runtuhnya Grand Theories, usaha eksplisitasi ajaran Kawruh Jiwa 6-Sa Soerjomentaram:
Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sakepenake, Samestine, Sabenere; menawarkan perspektif baru dan unik, untuk lebih jauh memahami jiwa manusia, sekaligus mendialogkannya dengan ilmu jiwa “modern” dalam bahasa yang kompatibel. Kalapun itu dianggap terlalu muluk, paling tidak kita bisa berharap psikologi ini dapat lebih tepat untuk memahami orang jawa.

Telaah kritisterhadap Ilmu Jiwa Kramadangsa ini tidak lepas dari padangan kritis terhadap psikologi “resmi” yang hidup dikalangan masyarakat psikologi di Indonesia. Karena gejala metodolatri dengan teknik-teknik analisis yang canggih menjadi sangat kuat, sementara upaya untuk memahami orang seperti Kramalaya dan Kramadangsa menyusut. Untuk memahami rasa Kramadangsa seorang psikolog lebih senang mempercayakan diri pada alat atau metodenya daripada kepekaan rasanya sendiri ketika berdialog dengan Kramadangsa. Tentu saja hal ini perlu dilihat dengan kacamata  yang lebih jernih kelak.

Kawruh Jiwa dalam Kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa itu tidak homogen apalagi monolitik. Itu sebabnya Von Magnis (1984), menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan orang Jawa sesungguhnya adalah suatu konsep kontruksi teoritis, dan tidak menunjukan kepada kelompok orang perorangan tertentu.

Nilai-nilai adalah bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dengan sikap hidup inilah yang biasa disebut sebagai mentalitas. salah satu sikap yang dianggap menonjol oleh orang Jawa adalah ketergantungannya pada masyarakat, demikian Mudler (1973). Dinyatakan bahwa kepribadian orang Jawa hampir sama sekali bersifat sosial. Seseorang dikatakan baik apabila masyarkatnya menyatakan demikian.

Kawruh Jiwa dalam Keseluruhan Wejangan Ki Ageng Soerjomentaram
Ki Ageng Soerjomentaram dapat dikatakan telah mulai memberikan uraian-uraianya sejak berumur kurang lebih 30 tahun – pada masa Pagoejoeban Selasa Kliwon (1921-1922), sampai saat wafatnya 1962. pada keseluruhan naskah yang telah diterbitkan oleh Idayu – yang dipih dari wejangan-wejangan yang diberikan oleh Ki Ageng selama kurang lebih 40 tahun, nampak jelas penerapan “pengawikan Pribadi” tersebut. Ki Ageng menunjukan betapa kesempurnaan hanyalah idam-idaman, cita-cita, keinginan, pamrih yang justru menghalangi tubuhnya manusia tanpa ciri

Dalam ilmu pendidikan yang disampaikan sebagai ceramah dalam Kongres Taman Siswa 1932, beliau menyampaikan perlunya kembali menekankan arti pentingnya kebahagian anak sebagai tujuan pendidikan. karenanya pendidikan anak perlu memusatkan perhatian untuk membantu anak agar supaya berpikir dan mengerti secara sadar. Dalam wejangan-wejangan tersebut, nmapaklah dengan jelas penekanan
akan perlunya Pengawikan Pribadi.

Salah satu penerapan “Pengawikan Pribadi” tersebut adalah membicarakan tentang kesempurnaan, Ki Ageng menunjukan betapa kesempurnaan hanyalah idam-idaman, cita-cita, keinginan, pamrih yang justru menghalangi tumbuhnya manusia tanpa ciri. Bermacam-macam usaha yang dilakukan orang untuk menjadi sempurna di buka kedoknya oleh Ki Ageng sebagai takhayul. Misalnya puasa ngalong di gua-gua dll. Dalam jimat perang, KI Ageng membuka kedok usaha-usaha orang untuk menjadi sakti dengan ajimat-ajimat sebagai takhayul.

Ki Ageng menunjukan betapa keberanian dan ketabahan itu hanya dapat diperoleh dengan mawas diri, membebaskan diri, termasuk kepentingan untuk menjadi pahlawan. Hal ini agaknya berpadanan dengan apa yang diajukan oleh Sosrokarnoto: “sepi ing pamrih, tebih ing ajrih”. Dalam jiwa persatuan, Ki Ageng kembali menunjukan bahwa bersatu, jujur, cinta, guyub akan menumbuhkan rasa enak, puas dan cukup. Dalam Rasa Unggul inilah Ki Ageng menganjurkan supaya orang tidak selalu ngangsa-angsa, ngaya-ngaya, dan berpedoman “enam-sa”, yakni: Sakbutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sakepenake, Samestine, Sabenere.
Substansi Kawruh Jiwa
Nama Ilmu Jiwa Kramadangsa diambil dari buku yang diberi judul demikian. Buku tersebut merupakan bahan ceramah Ki Ageng Soerjomentaram bersama Ki Pronowowidigdo di Yayasan Hidup Bahagia di Jakarta pada tahun 1959. Namun keseluruhan dari wejangan-wejangan Ki Ageng yang semula diberi nama “Kawruh begja”atau Kawruh Jiwa”. Kramadangsa adalah sekedar nama. Istilah ini dimaksud oleh Ki Ageng sebagai rasa pribadi yang identik denagn namanya sendiri.

Tiga pokok penting akan dicoba diuraikan di bawah ini yang pertama adalah tentang rasa, yang kedua tentang Aku (Kramadangsa), serta ketiga mawas diri.

1. Rasa
“Wong Jawa iku nggone rasa,” demikian sebuah ungkapan yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Suseno (1983) menjelaskan;

‘Dalam bahasa aslinya, yaitu Sansekerta, “rasa” mempunyai berbagai arti. Arti     pokoknya ialah “air” atau “sari” buah-buahan atau tumbuhan. Dari situ rasa lalu     berarti pengecapan (taste), perasaan (perasaan cinta, marah, belas kasihan,     kemesraan); lalu rasa juga berarti “inti”, “suara suci OM” yang adalah pernyataan     kodrat ilahi. Bagi para pujangga rasa berarti kenikmatan terdalam (delight, charm)     sedangkan rasa dari suatu karya sastra ialah “inti dasarnya yang halus dan dalam”     (keynote).’

Dalam kepustakaan Jawa, agaknya rasa dipahamkan sebagai substansi atau zat yang mengalir alam sekalir artinya ia berupa pertemuan antara jagad gedhe dan jagad cilik. Terkadang ia muncul sebagai daya hidup.
Sementara Ki Ageng Soerjomentaram sendiri berpendapat, bahwa hanya dengan jalan mentransendensasikan rasa bertentangan inilah manusia dapat mengembangkan rasa yang lebih tinggi, yakni rasa bebas. Ki Ageng juga berpendapat bahwa orang baru merasa ‘ada’ apabila ia berhubungan dengan orang lain, dengan benda atau rasanya sendiri.

Rasa bertindak-tanduk dalam gagasan dan pikiran, misalnya rasa marah akan menimbulkan pikiran untuk mencelakakan orang lain. Rasa unggul muncul dalam gagasan untuk ngaya-aya mencari drajat, semat, keramat. Rasa Kramadangsa adalah rasa namanya sendiri, ketika seseorang dipanggil menurut namanya.

Kita mengenal hirarki rasa, muali dari yang paling wadhag, berhubungan dengan badan kasar, badan halus, dan roh. Demikianlah kita kenal:

Rasa Pangrasa, yakni rasa badan wadhag, seperti yang dihayati seseorang melalui indranya: rasa pedas, manis, gatal dsb. Juga rasa yang hadir kebadan seseorang, seperti misalnya rasa sakit, rasa enak.
Rasa Rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahita, misalnya ketika seseorang menyatakan bahwa Kramadangsa telah “ngrumangsani kaluputane” atau “rumansa among titah, Kramadangsa among saos sukur”.
Rasa Sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih disebut. Rasa damai, rasa bebas dll.
Sejatining Rasa, yakni Rahsa, yang berarti hidup itu sendiri abadi.

Demikianlah kita melihat ada rasa hidup, rasa tanggapan, rasa catatan, rasa aku serta bebas yang berhubung-hubungan secara prosesual menembus keempat dimensi kehidupan; tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia serta manusia tanpa ciri.

2. Aku, Kramadangsa.         
Kita lihat bahwa kepribadian manusia Jawa terutama dibetuk dari interaksinya dengan lingkungan luar (kenyataan), serta lingkungan dalam (kasunyatan). Sementara Reksosusilo (1983) menunjukan bahwa ‘aku’nya orang Jawa tidak pernah tunggal individual.

Kramadangsa adalah nama orang. Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah ilmu jiwa mengenai orang yang bernama Kramadangsa. Kita sendiri adalah orang; jadi mempelajari Ilmu Jiwa Kramadangsa adalah mempelajari diri sendiri.

Manusia adalah juru catat. Melalui panca indera ia menciptakan segala macam kenyataan dalam rasanya. Peran sebagai juru catat adalah peranan dalam ukuran kesatu. Catatan-catatan ini hidup apabila mendapat perhatian dari si juru catat. Dari catatan-catatan ini muncul rasa “Kramadangsa”, rasa aku dengan namanya sendiri.

Karamadangsa mengawasi tindak-tanduknya sendiri. Dalam perhubungan dengan orang lain, orang merasakan perasaan orang lain dalam rasanya sendiri. Kramadangsa perlu membedakan rasanya sendiri, dengan rasa orang lain. Orang adalah barang asal. Sebagai barang asal, ia adalah juru catat pengalamna-pengalamanya. Dalam bangunan asal ini, ada “ada” yang pra-personal, terkadang disebut pra-self. Rasa aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan ini, baik jumlah, ragam maupun susunannya.

Sehingga dalam diri manusia ada dua kau, yakni aku tak tetap dan aku tetap. Aku tak tetp ini mengahdirkan diri sesuai dengan keinginan-keinginannya. Aku tetap adalah aku universal, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri bahkan bisa mengawasi diri sendiri. Manusia tanpa cirilah yang menjadi sebab kenapa manusia mampu membebaskan diri dari keinginan-keinginan yang tanpa batas.

3. Mawas Diri
Mawas diri telah menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari kebudayaan Jawa, baik dalam tradisi mitis maupun etis. Sekalipun perlu diingat bahwa hampir semua kepustakaan Jawa keterkaitan antara tradisi etis dan mistis adalah sangat erat.
Mawas Diri adalah tahap integrasi diri di mana egoisme dan egosentrisme diganti dengan sepi ing pamrih (Rahmat Subagyo, 1983)

Mawas diri pada dasarnya adalah meneliti rasa sendiri. Apabila meneliti diri sendiri sampai tuntas, maka orangakan mencapai manusia tanpa ciri. Mawas diri adalah kegiatan manusia dalam dataran psikologi, menembus ke dataran religius etis. Mawas diri dimulai dengan meneliti rasa senang dan rasa susahnya sendiri; yakni rasa orang dalam perhubungannya dengan benda, orang lain serta gagasan.

Secara khusus, mawas diri dilaksanakan dalam hubungan Kramadangsa dengan orang lain. Dengan meniliti rasa sendiri, rasa orang lain dalam rasanya sendiri, orang akan dapat memilahkan rasanya sendiri dengan rasa orang lain. Terkadang dalam usahanya  mawas diri juga mengalami hambatan. Pamrih untuk mencampai kesempurnaan dalam hidup, justru menjadi hambatan utamanya. Terkadang dalam usaha untuk menjadi sempurna, orang sering tergoda untuk memperoleh ilham, wahyu, atau anugerah lain yang membuat ia menjadi sempurna. 

Sebenarnya tidak semua mawas diri punya bau mistik yang keras. Kitab jayengbaya dari Ki Sarataka, nama Raden Ngabehi Ronggowarsito semasa muda, dengan penuh humor melakukan mawas diri. Ia membayangkan diri menjadi orang lain, menimbang-nimbang susah-senangnya, sampai akhirnya dia sampai pada kesimpulan bagaimanapun juga lebih enak jadi diri sendiri.

Mawas diri telah menjadi bagian dari akal sehat masyarakat Jawa untuk masa yang lama. Dalam kepustakaan Kebatinan, istilah ini juga dikenal sangat luas. Brataksewa (lihat Darminta, 1980), misalnya menytakan adanya tingkatan-tingkatan kualitas pengkajian diri ini:

1.    Nanding sarira, di mana seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain an mendapatkannya dirinya lebih unggul.
2.    Ngukur sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolak ukur.
3.    Tepa sarira, dimana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain.
4.    Mawas diri, dimana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur-jujurnya.
5.    Mulat sarira, lebih dari mawas diri, dimana manusia menetukan identitas yang terdalam sebagai pribadi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you